Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Rindu Kebenaran: Meretas Jauh dari Dunia Material

Banyak individu bertanya: Bagaimana cara agar saya merasa lapar dan haus akan kebenaran? Apa tindakan yang sebaiknya diambil?

Untuk menjawab pertanyaan ini, pertama-tama kita harus memahami apa yang dimaksud dengan merasa lapar dan haus akan kebenaran. Mirip seperti tubuh manusia yang tidak dapat bertahan tanpa makanan dan minuman, demikian pula mereka yang merasa lapar dan haus akan kebenaran merasakan bahwa hidup tanpa kebenaran tidak memungkinkan. Yang dibahas di sini adalah kebutuhan, bukan sekadar keinginan. Ini menyangkut keinginan mendalam, bukan hanya keinginan umum.
Rindu Kebenaran: Meretas Jauh dari Dunia Material
Langkah selanjutnya yang harus dipahami dengan baik adalah konsep "kebenaran" (dikaiosynÄ“). Kata ini memiliki makna yang sangat luas, bervariasi tergantung pada konteks kemunculannya. Jika kita membatasi makna kata ini pada Khotbah di Bukit (Matius 5-7), kita akan mengetahui bahwa kata ini mengacu pada kebenaran dalam ketaatan terhadap disiplin rohani (Matius 6:1). Dengan kata lain, kata ini menyoroti kesalehan dalam ranah keagamaan. Selanjutnya, dikaiosynÄ“ juga erat kaitannya dengan Kerajaan Allah di dunia ini (6:32-33). 

Oleh karena itu, kata ini tidak hanya merujuk pada kesalehan secara personal dalam domain keagamaan, tetapi juga kepada kebenaran dalam konteks moral dan sosial. Kita rindu akan saat-saat di mana nilai-nilai Kerajaan Allah akan memenuhi seluruh bumi. Jadi, apa yang kita butuhkan bukanlah hal-hal materi (makanan, pakaian, dan sejenisnya), melainkan hal-hal yang bersifat rohani. Berbeda dengan bangsa-bangsa lain yang mencari hal-hal materi, anak-anak Tuhan mencari Kerajaan Allah dan kebenaran-Nya.

Sekarang, mari kita coba menjawab pada awal tulisan ini. Bagaimana kita bisa merasa lapar dan haus akan kebenaran? Ada dua jawaban utama.

1. Pertama, kita senantiasa mengingat Injil Kristus. Hampir semua dari kita sudah mengetahui bahwa Injil membawa kabar baik. Yang sering dilupakan adalah bahwa kabar baik ini disampaikan di tengah kabar buruk. Manusia memiliki dosa. Manusia tidak dapat menyelamatkan dirinya sendiri. Manusia layak untuk dimurkai oleh Allah. Manusia tidak berhak mendapatkan kebaikan dari Allah.

Dengan memahami hal ini, kita selalu diingatkan akan kelemahan dan ketidakmampuan kita. Keangkuhan diri dihilangkan setiap hari. Ketergantungan pada kekuatan diri dipudarkan sedikit demi sedikit. Akhirnya, kita akan semakin menyadari kebutuhan kita akan Allah. Semakin kita menyadari kebutuhan ini, semakin kita mengharapkan agar kebenaran Allah terwujud dalam kehidupan kita.

2. Kedua, kita menjauhkan diri dari keinginan-keinginan duniawi. Hal yang membuat kita merasa tidak terlalu membutuhkan Allah dan kebenaran-Nya adalah kepuasan terhadap apa yang diberikan oleh dunia. Kita tidak dapat merasa lapar (secara rohani), karena kita sudah "kenyang" (secara jasmani). Kita menjadi kurang peduli terhadap hal-hal rohani.

Proses menjauhkan diri ini perlu dilakukan dengan sengaja, intensif, dan berkesinambungan. Dunia terus mempengaruhi kita dengan berbagai cara. Dunia menawarkan segala jenis kenyamanan dan kecukupan. Jika kita tergoda dan menerima semua ini, kita pasti tidak akan merasa terlalu membutuhkan Allah. Kita akan merasa telah mendapatkan apa yang kita butuhkan dan inginkan.

Kunci di sini adalah transformasi pikiran (Roma 12:2). Pikiran kita harus terlatih untuk mengidentifikasi pola pikir duniawi. Tidak ada sesuatu pun di dunia ini yang dapat mengisi kekosongan dalam diri kita yang hanya bisa diisi oleh Allah saja. Kristus bukanlah pilihan pertama atau nomor satu; Dia adalah satu-satunya harta yang paling berharga bagi kita. Dengan kesadaran akan hal ini, kita akan selalu merasa lapar dan haus akan kebenaran.

Kesimpulan, 

merasa lapar dan haus akan kebenaran merupakan panggilan mendalam untuk memahami dan menghayati prinsip-prinsip rohani. Dua aspek utama muncul sebagai kunci: terus mengingat Injil Kristus sebagai kabar baik di tengah realitas buruk, dan menjauhkan diri dari godaan dunia yang memberikan kepuasan sementara. Proses ini memerlukan kesadaran akan kelemahan diri, transformasi pikiran, dan ketekunan dalam mengikuti jalan kebenaran. Dengan demikian, perjalanan spiritual ini membawa kita menuju kepuasan yang lebih dalam dan pemahaman yang lebih luas akan kebenaran sejati.